Thomas S. Khun, yang menunjuk pada asumsi-asumsi
intelektual dasar yang dibuat oleh para ilmuan mengenai
permasalahan-permasalahan yang disebut dengan istilah paradigma.
Setidaknya Khun mengartikan suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup
(world view atau weltanchaung) yang dimiliki oleh ilmuwan dalam
disiplin tertentu. Perbedaan-perbedaan antar paradigma ini, telah
melahirkan perbedaan-perbedaan dalam orientasi masing-masing disiplin,
yang tidak jarang melahirkan pertentangan antar mereka yang mewakili
masing-masing paraigma. Bahkan tidak jarang konflik tersebut berjalan
sekedar menurut rasional dan ilmiah saja. Ada dimensi politik dalam
konflik itu yang mencerminkan indoktrinisasi dari para ilmuwan itu.
Mungkin kebanyakan ahli teori-teori sosial tidak akan menemukan alasan
mendasar untuk bertengkar dengan pendirian intelektualnya. Pada akhirnya
kita butuh kerendahan hati, paling tidak secara prinsip bahwa adanya
ketidaklengakapan suatu teori apapun. Pengertian kita bahwa teori-teori
yang berkompetisi itu dapat valid untuk tujuan dan kondisi tertentu.
Bagaimana dengan Sosiologi, apakah Sosiologi juga didominasi oleh suatu
paradigma?. Jawaban ‘Ya’, jika semua hal mengenai Sosiologi dipahami
memiliki asumsi dasar bahwa sikap-sikap, kebutuhan-kebutuhan,
nilai-nilai, serta pola-pola perilaku individu yang fundamental sangat
dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Namun dibalik pandangan umum ini,
terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam asumsi-asumsi dasar dari
para ahli Sosiologi yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan
implikasinya terhadap metode-metode penelitiannya. Dengan menggunakan
konsep paradigma Khun, Ritzer mengembangkan analisis yang tepat mengenai
sosiologi sebagai ilmu multiparadigmatik, yang membedakan tiga
paradigma yang secara fundamental berbeda satu sama lain, antara lain;
Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma
Perilaku Sosial. Paradigma fakta sosial diwakili oleh Emiel Durkheim,
selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik mendominasi. Pada masa
kini terdapat dalam teori fungsionalisme dan teori konflik yang
menekankan ide bahwa fakta sosial adalah riil, atau sekurang-kurangnya
dapat diperlukan sebagai yang riil. Struktur sosial dan institusi sosial
merupakan salah satu diantara fakta sosial itu yang mendapat perhatian
khusus.
Paradigma definisi sosial menekankan hakekat kenyataan sosial
yang bersifat subyektif, lebih dari pada eksistensinya yang terlepas
dari individu. Selama tahap perkembangan teori klasik, paradigma ini
diwakili dan dikembangkan oleh Max Weber dengan teori tindakannya. Lalu
teori interaksionisme simbolik dari karya Herbert Mead, cooley, dan
lain-lain. Teori-teori yang berbeda ini memiliki pandangan bahwa
kenyataan sosial di dasarkan pada definisi subyektif individu dan
penilaiannya. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola interaksinya
dibimbing bersama, yang dikontruksikan melalui proses interaksi.
Paradigma perilaku sosial, menekankan pendekatan obyektif empiris
terhadap kenyataan sosial. Menurut paradigma perilaku sosial, data
empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku individu yang nyata.
Pendekatan ini dikembangkan terutama dalam psikologi sosial, yang
prinsip-prinsip dasarnya berasal dari Homans mengenai perilaku sosial.
Berbagai paradigma tersebut sesungguhnya memperlihatkan
tingkatan-tingkatan kenyataan sosial, yang bisa dibedakan sebagai
berikut:
1. Tngkat individu
Dalam tingkatan ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian dalam
analisis intinya. Perhatian tidak pada individu sebagai individu,
melainkan pada satuan-satuan perilaku individu tersebut.
2. Tingkat antar individu
Kenyataan sosial pada tingkatan ini meliputi interaksi antar individu
dengan semua arti yang berhubungan dengan komunikasi simbolis,
penyesuaian timbal balik, negosiasi mengenai bentuk-bentuk tindakan yang
saling tergantung, kerja sama atau konflik atar pribadi, pola-pola
adaptasi bersama atau berhubungan satu-sama lain terhadap lingkungan
yang lebih luas. Dua perspektif teoritis utama yang menekankan tingkatan
ini adalah interkasionisme simbolik dan teori pertukaran.
3. Tingkat struktur sosial
Perhatian pada pembahasan tingkatan ini terletak pada pola-pola tidakan
dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan
terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang
tertentu. Satuan-satuan yang penting dalam kenyataan sosial ditingkatan
ini dilihat sebagai posisi-posisi sosial (didefinisikan menururt
hubungan yang kurang lebih stabil dengan posisi-posisi lainnya) dan
peranan-peranan sosial (didefinisikan menurut harapan-harapan bersama
akan perilaku orang-orang yang menduduki berbagai posisi). Dua aliran
utama yang berhubungan dengan tingkatan ini ini adalah teori
fungsionalis dan konflik.
4. Tingkat budaya
Tingkatan ini meliputi; arti, nilai, symbol, norma, dan pandangan hidup
umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat atau
sekelompok anggota masyarakat. Dalam pengertian yang luas, istilah
kebudayaan terdiri dari produk-produk tindakan dan interaksi manusia,
termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan dunia kebudayaan
non-materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar